Sabtu, 06 November 2010

Ruud Gullit



CERDAS, cepat, bervisi, kuat, terampil, berani, juga tak kenal lelah. Sederet kata itu tampaknya belum seluruhnya cukup untuk menggambarkan Ruud Gullit kala aktif sebagai pemain. Gullit seolah memiliki segalanya, kemudian dia eksploitasi menjadi sebuah permainan yang mengagumkan.

Sepanjang pertandingan, Gullit akan beroperasi di mana pun juga, seolah satu lapangan masih belum cukup. Pemain berjuluk Bunga Tulip Hitam ini memang tipe penjelajah yang tak kenal lelah. Hebatnya, dia memiliki kemampuan menyerang sama hebatnya dengan kemampuan bertahan.

Karakter itu didukung keterampilan yang baik. Kedua kakinya seolah sama baiknya. Selain itu, Gullit juga kuat dalam adu udara. Bahkan dia memiliki sundulan yang amat kencang. Soal umpan, dia juga cerdik dan akurat. Produktivitas Marco van Basten di timnas maupun di AC Milan tak lepas dari assist-assist Gullit.

Ibarat tulip, Gullit sangat menonjol di antara hamparan tulip. Bahkan, aromanya menyebar ke mana-mana. Dia mengorkestrasi permainan, sekaligus bisa menjadi aktor utama yang sangat menentukan.

Mengawali karier sejak bocah di Meerboys, Gullit memang sudah spesial. Dia berkembang paling cepat di antara rekan-rekannya, hingga Harleem berani memakainya di kompetisi senior saat umurnya baru 17 tahun. Meski muda, dia cepat berpengaruh. Klub-klub besar pun menggilirnya. Setelah dipakai Feyenoord, PSV Eindhoven, kemudian dia memecahkan rekor transfer pemain pada 1987, saat dibeli AC Milan senilai 6,5 juta pounds.

“Gullit pemain yang sangat dibutuhkan Milan. Dia tipe pemain yang bisa mengubah banyak hal,” puji Presiden Milan waktu itu, Silvio Berlusconi.

Pujian yang tak berlebihan. Apalagi tahun itu dia terpilih sebagai Pemain Terbaik Eropa dan Pemain Terbaik Dunia. Pernyataan Berlusconi makin terbukti setelah Gullit tampil luar biasa di Piala Eropa 1988. Bersama Frank Rijkaard dan Marco van Basten, dia menjadi kunci sukses Belanda menjadi juara. Kemudian, di Milan dia memberikan banyak gelar.

Sejak itu nama Gullit berkibar di mana-mana. Hanya Maradona yang bisa mengalahkan pesonanya. Meski begitu, pesona Gullit tetap memiliki daya tarik besar. Enam klub sudah dia bela. Hebatnya, dia selalu meninggalkan kenangan indah buat klub yang dibelanya.

Prestasi-prestasi besar dia persembahkan. Kecuali di Harleem. Tapi, di klub profesional pertamanya itu dia tetap memberikan sumbangan besar. Setidaknya, dia mampu membuat Harleem bersaing dengan klub Belanda lainnya dan terhindar dari degradasi. Dalam 91 penampilan di klub itu, dia mencetak 32 gol.

Puncak prestasinya tentu di Milan. Dia meraih segalanya: juara Serie-A, Liga Champions, Piala Super, dan Piala Toyota. Sayang, cedera lutut membuatnya harus disingkirkan ke Sampdoria. Meski begitu, dia masih bisa memberikan gelar Coppa Italia. Bahkan di ujung kariernya bersama Chelsea, dia masih memberikan gelar Piala FA.

Gullit memang pemain yang spesial. Meski posisinya sebagai gelandang, dia punya serangan yang tajam. Sepanjang kariernya, dia tampil di 465 pertandingan dengan torehan gol 175. Cukup produktif untuk ukuran gelandang.

Yang hebat, Gullit juga tipe pemikir. Bahkan dia pernah mengusulkan agar pergantian pemain diperbanyak sampai tujuh orang. Hanya, pada 15 menit terakhir hanya boleh sekali pergantian.

Sayangnya, Gullit kadang kelewat keras dan teguh pada pendirian. Itu yang membuatnya kerap terlibat konflik dengan orang-orang terdekatnya. Ketika di Milan, dia terlibat masalah dengan kapten Marco Baresi dan pelatih Fabio Capello. Bahkan, sejak Capello masuk, Gullit kabarnya tak pernah saling bertatap muka.

Ditambah konfliknya dengan Baresi, posisinya di Milan menjadi makin tertekan. Pindahnya Gullit ke Sampdoria pada musim 1993-94 diperkirakan karena kopnflik itu. Padahal, Gullit waktu itu masih tampil bagus.

Di timnas Belanda dia juga sering terlibat konflik dengan pelatih Dick Advocaat. Bahkan pada 1993 dia menyatakan mundur dari timnyas, selama masih dilatih Advocaat. Setahun kemudian dia kembali membela Der Oranje, tapi kemudian meninggalkan latihan dengan kemarahan. Sejak itu, dia tak pernah memakai seragam oranye lagi.

Ketika pindah ke Chelsea sebagai pemain merangkap manajer, dia juga terlibat konflik dengan manajemen. Akibat sikapnya yang keras, pembicaraan kontrak tak pernah selesai. Bahkan, Gullit akhirnya dipecat dengan alasan punya kehidupan pribadi yang tak bisa jadi contoh. Dia dianggap playboy. Gullit mengaku agak playboy, tapi dia tahu bagaimana bersikap profesional dalam sepak bola.

“Aku terlalu larut dalam egoku. Menyenangkan bisa bermain di berbagai klub dan keliling dunia. Di mana un bermain, aku berusaha seprofesional mungkin. Tapi sebagai bapak, aku telah gagal,” ujar Gullit yang memiliki enam anak dari tiga wanita.

Bahkan kelak, ketika menjadi manajer Newcastle, dia kembali terlibat konflik dengan Alan Shearer. “Membayar mahal kepada Shearer merupakan pemborosan,” katanya. Sejak itu, dia dan idola Newcastle itu tak pernah akur.

Lepas dari sisi-sisi buruk itu, Gullit sebagai pemain nyaris tak pernah cela. Seindah julukannya, Bunga Tulit Hitam. Dia selalu memamerkan permainan eksplosif, menguasai setiap inci lapangan, membuka peluang bagi rekan, ikut menahan gempuran lawan, juga produktif mencetak gol. Permainan yang selalu meninggalkan gelar di setiap klub yang dibelanya.

sumber:kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar